Senin, 19 Desember 2011

EMOSI


Sudah lama diketahui bahwa emosi merupakan salah satu aspek berpengaruh besar terhadap sikap manusia. Bersama dengan dua aspek lainnya, yakni kognitif (daya pikir) dan konatif (psikomotorik), emosi atau yang sering disebut aspek afektif, merupakan penentu sikap, salah satu predisposisi perilaku manusia. Namun tidak banyak yang mempermasalahkan aspek emosi hingga muncul Daniel Goleman (1997) yang mengangkatnya menjadi topik utama di bukunya. Kecerdasan emosi memang bukanlah konsep baru dalam dunia psikologi. Lama sebelum Goleman (1997) di tahun 1920, E.L. Thorndike sudah mengungkap social intelligence, yaitu kemampuan mengelola hubungan antar pribadi baik pada pria maupun wanita. Thorndike percaya bahwa kecerdasan sosial merupakan syarat penting bagi keberhasilan seseorang di berbagai aspek kehidupannya.

Salah satu pengendali kematangan emosi adalah pengetahuan yang mendalam mengenai emosi itu sendiri. Banyak orang tidak tahu menahu mengenai emosi atau besikap negatif terhadap emosi karena kurangnya pengetahuan akan aspek ini. Seorang anak yang terbiasa dididik orang tuanya untuk tidak boleh menangis, tidak boleh terlalu memakai perasaan akhirnya akan membangun kerangka berpikir bahwa perasaan, memang sesuatu yang negatif dan oleh karena itu harus dihindari. Akibatnya anak akan menjadi sangat rasional, sulit untuk memahami perasaan yang dialami orang lain serta menuntut orang lain agar tidak menggunakan emosi. Salah satu definisi akurat tentang emosi diungkap Prezz (1999) seorang EQ organizational consultant dan pengajar senior di Potchefstroom University, Afrika Selatan, secara tegas mengatakan emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Emosi adalah hasil reaksi kognitif terhadap situasi spesifik.

Emosilah yang seringkali menghambat orang tidak melakukan perubahan. Ada perasaan takut dengan yang akan terjadi, ada rasa cemas, ada rasa khwatir, ada pula rasa marah karena adanya perubahan. Hal tersebut itulah yang seringkali menjelaskan mengapa orang tidak mengubah polanya untuk berani mengikuti jalur-jalur menapaki jenjang kesuksesan. Hal ini sekaligus pula menjelaskan pula mengapa banyak orang yang sukses yang akhirnya terlalu puas dengan kondisinya, selanjutnya takut melangkah. Akhirnya menjadi orang yang gagal.

Emosi pada prinsipnya menggambarkan perasaan manusia menghadapi berbagai situasi yang berbeda. Oleh karena emosi merupakan reaksi manusiawi terhadap berbagai situasi nyata maka sebenarnya tidak ada emosi baik atau emosi buruk. Berbagai buku psikologi yang membahas masalah emosi seperti yang dibahas Atkinson (1983) membedakan emosi hanya 2 jenis yakni emosi menyenangkan dan emosi tidak menyenangkan. Dengan demikian emosi di kantor dapat dikatakan baik atau buruk hanya tergantung pada akibat yang ditimbulkan baik terhadap individu maupun orang lain yang berhubungan (Martin, 2003).

Tantangan menonjol bagi pekerja saat ini terutama adalah bertambahnya jam kerja serta keharusan untuk mengelola hal-hal berpotensi stress dan berfungsi efektif di tengah kompleksitas bisnis. Selain itu pekerja dituntut mampu menempatkan kedupan kerja dan keluarga selalu dalam posisi seimbang. Bahkan hanya soal kemampuan logika, saat ini tantangan pekerjaan juga terletak pada kemampuan berelasi dan berempati. Dalam berkata, bertindak dan mengambil keputusan, seseorang membutuhkan kecerdasan emosi yang tinggi, sehingga mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. 



Emosi menjadi penting karena ekspresi emosi yang tepat terbukti bisa melenyapkan stress pekerjaan. Semakin tepat mengkomunikasikan perasaan, semakin nyaman perasaan tersebut. Ketrampilan manajemen emosi memungkinkan individu menjadi akrab dan mampu bersahabat, berkomunikasi dengan tulus dan terbuka dengan orang lain. Berbagai riset tentang emosi umumnya berkesimpulan sederhana bahwa ‘adalah penting untuk membawa emosi yang menyenangkan ke tempat kerja’. Emosi yang tadinya sering ditinggal di rumah saat berangkat kerja saat ini justru semakin perlu dilibatkan di setiap setting bisnis. Naisbitt (1997) pun dalam bukunya “High Tech, High Touch : Technology and Our Search for Meaning” mendukung pendapat ini. Dikatakannya pada situasi teknologi mewabah, justru haus akan sentuhan kemanusiaan. Perkembangan tehnologi yang luar biasa yang kini terjadi dirasakan tidak diiringi dengan perubahan sosial yang memadai. Naisbitt (1997) menyebut era saat ini sebagai ‘zona keracunan tehnologi’. Di satu sisi sangat memuja tehnologi, di sisi lain melihat ada bagian yang hilang dari tehnologi, yaitu sentuhan kemanusiaan yang kita idamkan (Martin, 2003).

Dari uraian tersebut diatas emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi.

rujukan buku :
Atkinson, R. L. dkk. 1987. Pengantar Psikologi I. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Martin, Anthony Dio, 2003. Emotional Quality Manajement Refleksi, Revisi Dan Revitalisasi Hidup Melalui Kekuatan Emosi. Jakarta: Arga. 

http://artikel-duniapsikologi.blogspot.com/2008/12/emosi.html

Rabu, 14 September 2011

KEPRIBADIAN


Ketika membahas mengenai kepribadian, kita tidak memaksudkan bahwa seseorang memiliki pesona, pandangan yang positif mengenai kehidupan atau wajah yang murah senyum. Para psikolog cenderung mengartiakn kepribadian sebagai suatu konsep dinamis yang mendeskripsikan pertumbuhan dan perkembangan seluruh system psikologis seseorang. Alih-alih melihat bagian-bagian dari seseorang, kepribadian melihat suatu keseluruhan yang lebih besar daripada sekadar penjumlahan dari bagian-bagian tersebut.
Definisi kepribadian yang paling sering digunakan dibuat oleh Gordon Allport hampir 70 tahun yang lalu. Ia mengatakan bahwa kepribadian adalah “organisasi dinamis dalam system psikofisiologis individu yang menetukan caranya untuk menyesuaikan diri secara unik terhadap lingkungannya.” Anda hendaknya menganggap bahwa kepribadian merupakan keseluruhan cara dimana seseorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah sifat yang bisa diukur yang ditunjukan oleh seseorang.

Selasa, 13 September 2011

SIKAP


Sikap (attitude) adalah pernyataan evaluative, baik menyenangkan amupun tidak menyenangkan terhadap objek, individu, atau peristiwa. Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang tentang sesuatu. Ketika saya berkata, “saya menyukai pekerjaan saya”, saya sedang mengungkapkan pemikiran saya tentang pekerjaan.
Sikap tersebut sangat rumit. Apabial anda bertanya kepada orang lain tentang agama, atau organisasi tempat mereka bekerja, anda mungkin mendapatkan respon sederhana, tetapi alasan-alasan yang mendasari respon tersebut mungkin sangat rumit. Untuk benar-benar memahami sikap, kita harus mempertimbangkan karakteristik fundamental mereka.
 
KOMPONEN UTAMA DARI SIKAP
Biasanya, para peneliti telah berasumsi bahwa sikap mempunyai tiga komponen. Kesadaran, perasaan, dan perilaku. Keyakinan bahwa “diskriminasi itu salah” merupakan pernyataan evaluative. Opini semacam ini adalah komponen kognitif dari sikap, yang menetukan tingkatan untuk bagian yang lebih penting dari sebuah sikap atau komponen afekttifnya. Perasaan adalah segmen emosional atau perasaan dari sebuah sikap dan tercermin dalam pernyataan seperti “saya tidak menyukai dia karena ia mendiskriminasi orang minoritas.” Komponen perilaku dari sebuah sikap merujuk pada suatu maksud untuk berperilaku dalam cara teretentu terhadap seseorang atau sesuatu.
Pandangan bahwa siakp terdiri atas tiga komponen (kesadaran, perasaan, perilaku) sangat bermanfaat dalam memahami kerumitan hal ini dan hubungan potensial anta siakp dan perilaku. Perlu diingat bahwa komponen-komponen ini sangat berkaitan. Secara khusus, dalam banyak cara kesadaran dan perasaan tidak dapat dipisahkan. Sebagai contoh, bayangkan bial anda menyimpulkan bahwa seseorang memperlakukan diri anda dengan tidak adil. Kemungkinan besar tidakkah anda mempunyai perasaan-perasaan akan hal itu, yang muncul pada saat itu juga bersama dengan pemikiran tersebut? Jadi, kesadaran dan perasaan saling berkaitan.

Jumat, 29 April 2011

stop Dreaming Start Action

Kalau berbicara tentang Stop Dreaming Start Action maka saya yakin itu perlu belangsung jangka panjang, istilah motivasi ini tidak hanya untuk sehari atau dua, bukan pula hanya sesaat karena dipicu oleh faktor external seperti hadiah misalnya. Mungkin Stop Dreaming Start Action bahkan perlu berlangsung sampai mati nanti, hehe.. Contohnya ketika seseorang sedang sakit parah maka bentuk dari Actionnya misalnya dengan berbagai cara mencoba membangkitkan semangat hidup, memberi motivasi pada diri sendiri. Berdoa dan bersyukur dalam hati juga merupakan action walaupun memang bukan pekerjaan fisik, dan itu tidak hanya untuk hari ini saja bukan? Bentuk Action yang lebih kuat tentunya berdoa yang diiringi dengan usaha dan bersyukur dalam hati yang juga diiringi dengan beramal sholeh seperti berbagi dan bersedekah baik harta maupaun ilmu. Semua itu adalah Action yang perlu kita lakukan jangka panjang. www.artikelmotivasi.net

Minggu, 27 Maret 2011

INSTING

Disadari atau tidak, harta bawaan yang diberikan Allah SWT semenjak diri kita bernafas untuk pertama kali adalah Insting alias naluri. Berbekal harta bawaan inilah kita berjalan mengarungi Indah dan kejamnya samudra luas yang dinamakan kehidupan. Sebagai pemberian Allah SWT, Insting selalu bersifat suci dalam artian tidak mau dikotori.

Kalau kita mau menengok kedalam sini, dan berusaha usaha mengenali insting, maka kita faham bahwa insting utama dari manusia adalah beladiri. Kalau kita bicara beladiri maka assumsi yang menjalar di pikiran kita adalah suatu bentuk kasar berupa gerakan2 beladiri seperti Silat, karate atau aneka jenis bentuk beladiri yang bersifat maskulin.
Tidaklah terlalu selalu salah, jika gambaran semacam itu menguasai pikiran, karena memang kita mungkin hanya menerima informasi yang sangat minimal, bahwa insting manusia adalah beladiri.

Pada hakekatnya insting akan muncul karena perasaan takut. Tidak ada satu manusiapun dimuka bumi yang tidak punya rasa takut. Meski sesorang akan sangat marah jika dibilang takut atau dibilang pengecut. Insting yang duduk pada RASA, selalu memberitakan perasaan takut. Hal inisudah menjadi gelar yang nyata, bahwa manusia sebenarnya sangat takut dengan rasa sakit dan lapar. Tidak satupun manusia yang ingin kelaparan, tidak satu manusia yang ingin sakit atau disakiti.
Entah berapa banyak cost yang dikeluarkan hanya untuk menghindari dua speisis yang bernama sakit dan lapar.

Dari usia dini, orang tua kita memberikan pendidikan yang tujuanya agar kelak diri kita dapat membela diri dari serangan kelaparan atau sakit. Entah sudah berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk maksud tersebut.
Contoh nyata yang bisa kita petik, mengapa kita perlu konsul ke dokter kalau dirasakan terjadi gangguan kesehatan. Tentu karena kita membela diri kita agar rasa sakit, atau rasa tidak nyaman tidak hadir berkepanjangan bertengger di badan kita.
Mengapa kita harus sekolah sampai setuntas mungkin. Hasil dari sekolah kelak digunakan untuk bekerja agar kita sanggup minimalnya memelihara diri untuk beladiri agar kita tidak kelaparan. Jelas apapun aktivitas kita selama ini, intinya adalah beladiri yang dipicu oleh harta bawaan yang kita bawa sejak lahir, yaitu Insting yang lebih focus pada beladiri.
Kalau saja kita paham bahwa insting manusia adalah beladiri, maka uraian diatas Insya Allah mampu menghapus gambaran keras dan kasar bahwa pengertian beladiri akan menjadi sangat lembut. Apalagi pada saat sekarang masih menjadi assumsi ilmu2 beladiri seperti silat masih mendapat cap ilmu kampungan dan atau ada banyak jenis ilmu beladiri diangpap sekarang ilmu yang penuh kekerasan.

Dalam hal bergeraknya insting sesuai dengan usia kedewasaan, maka gerak insting akan terbelah dua, yang membuat kita menjadi Intovert (tertutup) dan atau extrovert (terbuka). Kedua kejadian bukanlah pilihan. Satu diantara dua kejadian ini dipastikan dominan ada didalam diri kita, yang ditentukan oleh evolusi kesadaran dan kadar emisonal setiap orang dalam membela diri.
Kalau ditanya anda pilih yang mana ? Maka anda tidak bisa menjawab dengan pasti karena kedua kejadian intovert atau extrovert bukanlah suatu pilihan.

Yang perlu kita pahami adalah seberapa jauh kita menyadari kadar intovert dan kadar extrovert menguasai diri kita. Sebagai gambaran kalau kadar intovert diri kita lebih dominanmaka kita akan menjadi manusia yang penuh misteri.

Didalam diri ini sebenarnya ada 4 ruang yakni:

Ruang Pertama adalah Ruang AKU TAHU, ORANG LAIN TAHU.

Ruang kedua adalah ruang AKU TAHU, ORANG LAIN TIDAK TAHU.

Ruang ketiga adalah ruang AKU TIDAK TAHU. ORANG LAIN TAHU.

Ruang ketiga adalah ruang AKU TIDAK TAHU. ORANG LAIN TIDAK TAHU.

>Kita ambil contoh sederhana saja seperti uraian dibawah ini, guna mendapat gambaran yang lebih jelas.
Misal kalau kita menyimpan rahasia, dimana biasanya rahasia terdiri dari speises negatip berupa kebobrokan moral. Maka Kebobrokan moral akan menempati ruang kedua AKU TAHU ORANG LAIN TIDAK TAHU. Bentuk kebobrokan moral seperti apa sih yang disimpan di ruang kedua itu ? Yah tidak jauh dari kelamnya masa lalu, perselingkuhan, pacaran dengan suami orang lain, pacaran dengan istri orang lain, pernah membunuh orang lain, janji palsu dan banyak lagi yang tidak bisa disebut satu persatu.

Sejalan dengan waktu, ruang kedua AKU TAHU ORANG LAIN TIDAK TAHU akan menjadi penuh. Tak bisa lagi menampung. Maka akan meluber kedalam ruang pertama AKU TAHU ORANG LAIN TAHU. Kalau rahasia sudah meluber mengisi ruang pertama AKU TAHU ORANG LAIN TAHU, maka dengan waktu yang singkat semua rahasia keboborokan moral yang disimpan rapi akan terbongkar. Terbongkarnya rahasia bukanlah disebabkan oleh faktor extern. Tetapi merupakan dorongan energi Insting yang didalam diri kita sendiri, menggetarkan orang lain, untuk bebas dari berbagai bentuk kekotoran perilaku pribadi kita. Maka diluar kewajaran jika rahasia diri terbuka kemudian menuding orang lain bersalah. Kita harus memahami Insting memiliki energi kuat yang bisa menggetarkan orang lain, dan Insting yang ada didalam diri kita, berusaha menembus sumbatan sumbatan moral yang ditutup oleh nafsu.

Kajian contoh diatas, adalah merupakan peristiwa biasa yang masuk logika setiap orang. Kalau kita mau mengkaji lebih dalam lagi dengan kajian “human engineering”. Kesemua ini berangkat dari Insting manusia sebagai Harta bawaan hadiah Allah SWT.
Insting hadiah Allah SWT adalah suci. Insting tidak mau dikotori oleh perilaku raga yang kotor menyimpang dari Hukum Allah. Oleh karena itu berterima kasihlah kepada Insting yang selalu setia membela diri kita tanpa pamrih, tanpa menginginkan imbalan. Insting Hanya memerlukan perjalanan hidup yang baik dari raga kita. Agar diri kita dapat menciptakan sejarah hidup yang baik

Selasa, 08 Maret 2011

MENDENGAR BUKAN MENDENGARKAN

Alih-alih pasif, mendengarkan yang epektif lebih bersifat aktif, anda tidak ubahnya alat perekam suara. Anda menyerap informasi yang diberikan. Sebaliknya, mendengarkan secara aktif mensyartkan anda untuk “masuk” kedalam benak sipembicara sedemikian rupa sehingga anda dapat memahami komunikasi tersebut dari sudut pandangnya. Sebagai pendengar aktif, anda berusaha memahami apa yang ingin dikomunikasikan oleh pembicara melebihi apa yang ingin anda pahami. Anda juga memperlihatka penerimaan atas apa yang dikatakan. Anda mendengarkan secara objektif tanpa menghakimi isinya. Akhirnya, sebagai pendengar aktif, anda bertanggung jawab agar ia menyelesaikan pembicaraannya. Anda melakukan apapun yang perlu untuk mendapatkan makna yang sepenuhnya dimaksudkan oleh si pembicara melalui komunikasi tersebut.

Delapan perilaku berikut ini terkait dengan keterampilan mendengarkan-aktif yang epektif. Bila anda ingin memperbaiaki keterampilan anda dalam mendengarkan, cermati perilaku berikut ini sebagai panduan.

1. Lakukan kontak mata

2. Tunjukan anggukan kepala yang berarti afirmasi dan ekspresi wajah yang tepat

3. Hindari tindakan atau gerakan tubuh yang membingungkan

4. Ajukan pertanyaan

5. Ulangi dengan cara lain

6. Hindari mengintrupsi pembicara

7. Jangan mengoceh

8. Butlah transisi yang mulus antara peran sebagai pembicara dan sebagai pendengar

KARISMA DAPAT DIPELAJARI

Dulu kita berfikir orang karismatik dilahirkan. Akan tetapi, bukti terakhir menyatakan sebaliknya. Individu-individu dapat dilatih untuk menunjukan perilaku karismatik dan karena itu dapat menikmati keuntungan yang menyertai label “ individu yang karismatik”.

Telah ditunjukan bahwa seseorang dapat belajar menjadi karismatik dengan mengikuti proses tiga-langkah. Pertama, anda perlu mengembangkan aura karisma dengan memelihara pandangan yang optimistic, menggunakan semangat dan gairah sebagai katalis untuk membangkitkan antusiasme, danmengomunikasikan dengan keseluruhan tubuh, bukan hanya dengan kata-kata. Kedua, anda harus menarik yang lain dengan menciptakan suatu ikatan yang mengilhami orang lain untuk mengikuti. Dan ketiga, anda perlu mengeluarkan potensi yang dimiliki pengikut dengan membuka jalan masuk kedalam emosi mereka.

LUPAKAN SIFAT-SIFAT PERHITUNGKAN PERILAKU

Sebagian besar dari kita memiliki keyakinan kuat terhadap kekuatan sifat-safat untuk memperkirakan perilaku. Kita mengetahui bahwa orang berprilaku berbeda didalam situasi yang berbeda, tetapi kita cenderung mengelompokan orang berdasarkan sifat-sifat mereka, memaksakan penilaian berkenaan dengan sifat-sifat tersebut (percaya diri adalah “baik”; bersikap patuh adalah “buruk”), dan mengevaluasi orang berdasarkan klasifikasi ini.

Meskipun sifat kepribadian secara umum stabil sepanjang waktu, serangkaian bukti memperlihatkan bahwa sifat seseorang individu diubah oleh organisasi yang individu tersebut berperan serta didalamnya. Terlebih lagi, secara tipikal orang mengikuti berbagai organisasi (misalnya, komunitas, keagamaan, social, atletik, dan politik) yang seringkali melibatkan berbagai jenis orang yang sangat berlainan, dan mereka beradaptasi terhadap situasi-situasi yang berbeda tersebut. Faktanaya ialah bahwa orang bukanlah tawanan dari bingkai kepribadian yang kaku dan stabil. Mereka bisa, dan memang bisa, menyesuaikan perilaku mereka untuk mencerminkan kebutuhan terhadap situasi.